Arrow

Also in Category...

Proses Belajar Matematika

Posted by Matthew ~ on Thursday, September 13, 2012 ~ 0 comments

Pola tingkah laku manusia yang tersusun menjadi satu model sebagai prinsip-prinsip belajar diaplikasikan ke dalam matematika. Prinsip belajar ini haruslah dipilih sehingga cocok untuk mempelajari matematika. Matematika yang berkenaan dengan ide-ide abstrak yang diberikan simbol-simbol itu tersusun secara hirarkir dan penalaran deduktif, sehingga belajar matematika itu merupakan kegiatan mental yang tinggi (Hudojo, 1990: 4). Seseorang akan lebih mudah mempelajari sesuatu bila didasari dengan apa yang telah diketahuinya. Karena itu, pengalaman belajar matematika yang terdahulu akan mempengaruhi pengalaman untuk mempelajari suatu materi matematika yang baru.

Belajar matematika yang terputus-putus akan mengganggu terjadinya proses belajar karena matematika bersifat hirarkis (Hudojo, 1990: 4). Proses Belajar akan terjadi dengan lancar bila dilakukan secara kontinu. Di dalam proses belajar matematika juga terjadi proses berfikir, sebab dalam belajar matematika seseorang mesti melakukan kegiatan mental. Seseorang ini akan menyusun hubungan-hubungan antara bagian-bagian informasi yang telah direkam dari proses belajar sebelumnya dalam fikirannya sebagai pengertian-pengertian. Dari pengertian-pengertian tersebut terbentuklah pendapat yang menuju pada sebuah kesimpulan. Tentunya kemampuan berfikir seseorang itu dipengaruhi oleh intelegensinya. Dengan demikian terlihatlah hubungan antara intelegensi dengan proses belajar matematika.

Berdasarkan uraian sebelumnya yang memaparkan pengertian belajar, belajar sangat erat kaitannya dengan tingkah laku. Perubahan tingkah laku seseorang dipelajari melalui psikologi. Karena itu belajar banyak disoroti dari sudut psikologi.  Para ahli psikologi mengakui adanya penstrukturan kognitif (lihat tabel 2.1). Matematika juga memperlajari struktur-struktur tersebut. Misalnya, seriasi dalam struktur psikologi, diperlukan untuk urutan dalam struktur matematika, namun hal ini tidak tampak sampai anak berusia 7 tahun. Contoh lain adalah pada struktur matematika dasar, menurut Bourbaki (dalam Hudojo, 1990: 4) adalah topologikal, yang menurut sejarah perkembangan matematika dan yang dipelajari di sekolah adalah geometri Euclid. Menurut psikologi, anak-anak lebih mudah memahami gambar-gambar togologis lebih dulu dari pada gambar-gambar geometri Euclid.

Lebih lanjut lagi, operasi hitung yang diajarkan dalam matematika mempunyai urutan yakni “+”, “–”, “×”, dan “÷”. Namun, urutan yang direkomendasikan dalam psikologi kognitif adalah operasi “+”, “×”, “–”,dan “÷”. Ditinjau dari psikologi, operasi “×” akan lebih mudah dipahami peserta didik setelah ia mempunyai pengetahuan belajar operasi “+” kemudian operasi “–”. Operasi “+” yang dilanjutkan dengan operasi “–” akan memberikan kesenjangan kognitif sehingga sulit untuk dipahami. Sedangkan ditinjau dari matematika, operasi “–” merupakan invers dari operasi “+” yang perlu segera dikaitkan. Demikian pula penjelasan untuk urutan dua operasi lainnya.

Dari uraian di atas, nampak bahwa hirarki belajar (psikologi) tidak lah selalu seiring dan sejalan dengan matematika. Pengajar harus menentukan pilihannya dalam menghadapi situasi yang demikian. Pilihan akhir adalah keputusan yang menentukan bagaimana bentuk kegiatan mengajarnya.


Related Posts

No comments:

Leave a Reply

Followers